Monday, September 6, 2010

Dengan Ramadhan Tingkatan Jati Diri dan Ukhuwah Islamiyah

Sumber: Dakwatuna.com

اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ….

وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيَّامُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ….

وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ أَنْتَ الْحَقُّ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ…

اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَأَخَّرْتُ وَأَسْرَرْتُ وَأَعْلَنْتُ أَنْتَ إِلَهِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

dakwatuna.com – Ramadhan telah kita lalui, pada hari ini umat Islam di seluruh dunia merayakan kemenangannya. Gema takbir, tahlil dan tahmid berkumandang dimana-mana, di seluruh jagad raya alam semesta ini, bersatu padu dalam irama membesarkan Allah, memuji dan mensucikan-Nya, sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat telah Allah anugerahkan, terutama dapat meraih kemenangan di hari yang fitri ini. Mengungkapkan syukur atas hidayah dan inayah Allah yang begitu besar karena telah berhasil mengikuti rentetan ibadah pada bulan Ramadhan sebagai jaminan untuk mendapatkan ganjaran dan ampunan.

Dengan berakhir dan berlalunya bulan Ramadhan dan rangkaian ibadah yang ada di dalamnya; ada dua perasaan yang memuncak dalam jiwa setiap umat; perasaan al-khauf war raja…

Ada perasaan harap dan gembira yang melekat dalam benak kita, senang dan suka cita yang merasuk ke dalam dada, karena setelah selesainya bulan Ramadhan jiwa kita –insya Allah- dikembalikan kepada jati diri yang bersih tanpa noda dan dosa sama seperti saat kita baru dilahirkan dari rahim ibu kita dulu, menjadi fitri (suci) kembali, sebagaimana Rasulullah saw bersabda :

إن الله فرض عليكم صيام رمضان وسننت قيامه فمن صامه وقامه احتسابا خرج من الذنوب كيوم ولدته أمه

“Sesungguhnya Allah mewajibkan atas kalian puasa Ramadhan dan aku mensunnahkan qiyam di malam harinya, maka barangsiapa yang berpuasa dan melakukan qiyam karena mengharap ridha dari Allah maka keluarlah dosanya (suci) sebagaimana seperti saat ia baru dilahirkan dari kandungan ibunya”.

Begitu pun ada rasa senang dan gembira karena janji, rahmat, keberkahan, pahala yang berlimpah yang telah disediakan oleh Allah bagi yang berhasil menunaikan ibadah pada bulan Ramadhan, tentunya kita bisa membayangkan dalam diri kita masing-masing saat kita menunaikan ibadah Ramadhan; baik puasanya, qiyamnya, tilawahnya, sedekahnya, dan lain sebagainya.

Adapun kebahagiaan yang paling berharga adalah saat kita berjumpa nanti dengan Allah oleh karena puasa yang telah kita jalankan selama 1 bulan penuh. Fa marhaban yang syahru syiyam, syahru rahmah wal maghfirah, syahru A-Quran wa syahru ni’mah wal barakah.

Namun pada sisi lain kita juga merasa sedih atas berlalunya bulan Ramadhan; sedih karena dengan berlalunya bulan Ramadhan berarti kita akan kembali kepada kehidupan yang biasa, dan kita tidak mengetahui apakah kita akan bersua kembali dengan bulan Ramadhan pada tahun mendatang.

Sedih karena kita khawatir apakah segala amal ibadah kita pada bulan Ramadhan tersebut dapat diterima oleh Allah SWT sehingga kita menjadi orang yang di cap oleh Allah dengan orang yang merugi dan celaka sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw :

فإن الشقي من حرم عليه رحمة الله فيه

“Maka sungguh celaka bagi orang yang diharamkan rahmat Allah di dalam bulan Ramadhan”

Na’udzubillah min dzalik, kita berharap dan memohon kepada yang Maha Kuasa, semoga Allah menerima segala amal ibadah kita, dilimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta di masukkan ke dalam hamba yang mendapatkan janji-Nya, yaitu surga. Digiring oleh Allah pada golongan hamba-hamba yang masuk ke dalam surge oleh karena puasa dan ibadah kita.

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ.وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ وَأَوْرَثَنَا الْأَرْضَ نَتَبَوَّأُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاءُ فَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

“Dan orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! Maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya. Dan mereka mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada Kami dan telah (memberi) kepada Kami tempat ini sedang Kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang Kami kehendaki; Maka surga Itulah Sebaik-baik Balasan bagi orang-orang yang beramal”. (Az-Zumar:73-74)

Dan juga kita berharap semoga Allah berkenan mempertemukan kita kembali dengan bulan Ramadhan di masa mendatang. Amin ya rabbal alamin.

Ma a’syiral muslimin Rahimakumullah

Bulan Ramadhan selain memiliki keutamaan dan keistimewaan adalah merupakan sarana pendidikan dan pembinaan yang luhur dan komprehensif, baik untuk pembinaan ruhiyah (spiritual), jasadiyah (jasmani), ijtima’iyah (sosial), khuluqiyah (akhlaq) dan hadloriyah (peradaban) serta jihadiyah pada diri umat Islam. Ibaratnya sebuah lembaga pendidikan, para siswa digembleng, dididik dan dibina dengan begitu ketatnya, sehingga kelak setelah lulus dari lembaga tersebut menjadi pelajar yang berprestasi dan unggul serta berdaya guna. Mereka di didik dengan materi yang baik, ditempa dengan pembinaan yang maksimal dan kurikulum yang jelas. Kelak mereka menjadi sosok yang bukan saja memberikan maslahat untuk dirinya namun juga bermanfaat untuk keluarga, lingkungan dan negaranya.

Begitu pun dengan Ramadhan yang telah kita jalani, merupakan sarana pendidikan rabbani, kurikulumnya adalah kurikulum ilahi, dan manhajnya adalah manhaj rabbani yang bersumber dari sang pemilik dan pengatur jagad raya alam semesta dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya, sehingga –diharapkan- setelah keluar dari madrasah Ramadhan lahir sosok pribadi muslim yang mumpuni, memiliki syakhshiyah islamiyah mutakamilah mutawazinah (sosok pribadi Islami yang komprehensif dan seimbang) tidak hanya berjiwa bersih, berbadan sehat dan bugar, dan berakhlaq mulia, namun juga memberikan pelajaran dan pendidikan sosial dan berperadaban, serta tidak hanya memberikan kebaikan kepada dirinya sendiri namun juga memberikan kebaikan dan perbaikan kepada lingkungan dan masyarakat sekitar.

Bahwa untuk mencapai tingkat kualitas yang mulia (At-taqwa) tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, namun ia butuh proses yang harus ditempuh oleh setiap mukmin, selain harus melandasi dengan keimanan, namun juga menempuh proses berat sehingga mampu memberikan output yang baik dan mulia.

Begitulah ketika Allah menginginkan derajat taqwa yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya; landasannya iman, prosesnya ibadah puasa dan hasilnya taqwa.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Kalaulah kita mau menelaah lebih dalam maka akan didapati dalam bulan Ramadhan pelajaran yang begitu penting dan hikmah yang banyak, sehingga ketika seseorang memahaminya maka boleh jadi mereka berharap agar bulan-bulan lainnya dalam satu tahun dijadikan bulan Ramadhan, begitulah yang pernah disinyalir oleh Rasulullah saw :

لو يعلم الناس ما في رمضان لتمنوا أن يكون الدهر رمضان

“Sekiranya manusia mengetahui kebaikan-kebaikan yang ada dalam bulan Ramadhan maka pasti mereka akan berharap satu tahun penuh dijadikan Ramadhan seluruhnya”.

Adapun inti dari pendidikan dalam bulan Ramadhan adalah sebagai berikut :

1. Puasa merupakan madrasah ruhiyah (pembinaan spiritual)

Puasa berfungsi sebagai sarana tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa), dimana orang yang berpuasa selain menjaga dirinya untuk tidak makan dan minum, juga di tuntut untuk mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, melatih diri untuk menyempurnakan ibadahnya kepada Allah walau dalam keadaan lapar, bersikap jujur, menjaga dari ucapan yang kotor dan keji, sifat dengki dan hasad. Dimana dalam puasa juga ada hikmah yang memenangkan ruh ilahi atas materiil dan akal atas nafsu angkara murka.

2. Puasa merupakan madrasah jasadiyah (pembinaan jasmani)

Ibadah puasa merupakan ibadah yang tidak hanya membutuhkan pengendalian hawa nafsu tapi juga membutuhkan kekuatan fisik. Dan puasa juga dari segi kesehatan akan membersihkan usus-usus, memperbaiki kerja pencernaan, membersihkan tubuh dari sisa-sisa endapan makanan, mengurangi kegemukan dan menenangkan kejiwaan atas aspek materiil yang ada dalam diri manusia.

3. Puasa merupakan madrasah ijtima’iyah (pembinaan sosial)

Puasa juga dapat membiasakan umat untuk hidup dalam kebersamaan, bersatu, cinta keadilan dan persamaan, melahirkan kasih sayang kepada orang-orang miskin, sehingga orang-orang yang mampu dan kaya merasakan apa yang di derita oleh orang-orang fakir dan miskin. Sebagaimana yang dikatakan oleh ibnul Qayyim : “Puasa dapat mengingatkan orang-orang kaya akan penderitaan yang dirasakan oleh orang-orang miskin”. Sehingga dari sinilah di harapkan timbul rasa persaudaraan dan solidaritas.

Sebagaimana dalam berpuasa juga ditanamkan sifat tenggang rasa dan solidaritas dalam kehidupan yang memiliki keragaman etnis, warna kulit dan ras, apalagi sesama muslim yang memiliki keragaman mazhab, kelompok dan golongan yang berasal dari keragaman pemahaman dalam mengambil intisari dari ajaran Islam. Perbedaan kelompok, mazhab dan golongan adalah merupakan hal yang lumrah, namun yang patut kita sadari bahwa dengan adanya perbedaan tersebut kita (umat Islam) tidak boleh terpecah belah dan tidak bersatu, namun hendaknya bisa dijadikan sarana untuk memupuk persaudaraan, dan membangun bangunan Islam agar lebih kokoh lagi, sehingga dengannya tidak akan terjadi saling gontok-gontokkan, mencela, menuding dan menghina karena hanya permasalahan sepele dan furu’ saja.

Allah SWT berfirman :

إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman saling bersaudara, maka damaikanlah antara saudara kalian (jika berselisih).

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا

“Dan berpegang teguhlah kalian pada tali Allah dan jangan bercerai-berai”

Islam mengharuskan adanya kesatuan pemahaman dalam masalah-masalah dasar aqidah, dasar ibadah dan dasar muamalah; sementara Islam mentolerir multi pemikiran dalam masalah-masalah cabang aqidah, cabang ibadah dan cabang muamalah. Kedua sisi ini bagaikan 2 sisi dari 1 mata uang yang tidak terpisahkan satu sama lain, tidaklah orang yang berusaha membebaskan semuanya ataupun menyatukan semuanya kecuali ia akan menyimpang dan terlepas dari jalan yang benar…

4. Puasa merupakan madrasah khuluqiyah (pembinaan akhlaq)

Puasa juga mendidik manusia untuk memiliki akhlaq yang mulia dan terpuji, sabar dan jujur serta tegar terhadap segala ujian dan cobaan, hal ini terlihat dari arahan Rasulullah Saw. dalam meriwayatkan Hadits Qudsi, bahwa Allah SWT. berfirman: “Orang yang berpuasa wajib meninggalkan akhlaq yang buruk. Segala tingkah lakunya haruslah merupakan cerminan dari budi yang luhur. Ia wajib menjaga diri, jangan sampai melakukan ghibah (mempergunjingkan diri orang lain, gosip), atau melakukan hal-hal yang tiada berguna, sehingga Allah berkenan menerima puasanya”.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.: “Apabila seorang dari kamu sekalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan berteriak. Bila dicela orang lain atau dimusuhi, maka katakanlah: “Aku ini sungguh sedang puasa”. Dalam hadits lain disebutkan: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dusta, dan melakukan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan dahaga mereka” (HR Bukhari dan Abu Dawud).

Dalam kehidupan ini, kita pasti akan berhadapan dengan berbagai rintangan, ujian dan cobaan, sehingga Allah akan melihat sampai dimana ketegaran kita dalam menghadapi berbagai rintangan, ujian dan cobaan tersebut.

Paling tidak ada 4 tujuan Allah memberikan kita berbagai cobaan dan ujian hidup;

1. Ujian Iman; siapakah yang tegar imannya dan siapakah yang hanya pura-pura dan palsu. Allah berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ . وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”. (Al-Ankabut:2-3)

2. Ujian Mental; siapakah yang tawadhu dan angkuh terhadap nikmat Allah. Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ. لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُور

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Al-Hadidi:22-23)

3. Ujian Fisik; siapakah yang bersungguh-sungguh dan lemah dalam meraih nikmat Allah. Allah berfirman:

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِين

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim”. (Ali Imran: 140)

4. Ujian Sikap; siapakah yang optimis dan pesimis terhadap nikmat Allah. Allah berfirman:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ . وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ .

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. (Al-Fajr:15-16)

Dan puasa adalah sebagai perisai yang mampu membentengi diri untuk bertahan dalam berbagai ujian dan cobaan hidup, dan alhamdulillah sekalipun terik matahari, panas yang menyengat, sehingga rasa haus yang menyekat tenggorokan kita mampu melewatinya, dan tentunya hal tersebut tidak bisa dianggap ringan, butuh usaha dan kesungguhan serta keimanan.

5. Puasa merupakan madrasah jihadiyah

Puasa juga merupakan sarana dalam menumbuhkan semangat jihad dalam diri umat, terutama jihad dalam memerangi musuh yang ada dalam jiwa setiap muslim; mengikis hawa nafsu, dan berusaha menghilangkan dominasi jiwa yang selalu membawanya kepada perbuatan yang menyimpang. Allah berfirman:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang”. (Yusuf:53)

Sebagaimana puasa juga menumbuhkan semangat jihad yang nyata, karenanya peperangan yang terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya kebanyakan di bulan puasa, dan justru dengan berpuasa mereka dapat lebih semangat dalam berjihad, karena dengan puasa hati terasa lebih dekat kepada Allah SWT dibanding hari-hari dan bulan-bulan yang lain, walaupun pada dasarnya Rasulullah saw dan sahabatnya tidak pernah merasa jauh dari Allah SWT. Dan bukan karena berpuasa orang lalu boleh bermalas-malasan atau tidur-tiduran. Namun yang lebih utama adalah kegiatan dan aktivitas orang yang berpuasa tidak kendor dan berkurang karena alasan sedang berpuasa, namun sebaliknya harus lebih ditingkatkan lagi, karena ganjaran orang yang melakukan kebaikan saat puasa Ramadhan bahwa pahalanya akan dilipat gandakan sepuluh kali lipat oleh Allah. Karena itu Allah SWT berfirman :

والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا

“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dijalan kami maka Kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami (jalan yang lurus)” (QS. 29 ayat 69)

6. Puasa merupakan madrasah hadlariyah (pendidikan peradaban)

Puasa juga sebagai wahana peradaban yang dapat memajukan kehidupan manusia yaitu bahwa puasa mendidik manusia untuk bersikap disiplin dengan waktu, seperti waktu sahur dan berbuka, saat waktunya telah habis untuk sahur maka wajib bagi yang akan berpuasa untuk menahan diri dari makan dan minum walaupun di hadapannya tersedia hidangan yang lezat.

Sebagaimana pula bulan Ramadhan mengajarkan untuk menjaga kesatuan umat Kesatuan umat merupakan kebutuhan yang mendesak. Akan tetapi perlu dipahami, kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan yang dikemas dalam bingkai Islam. Jika tidak, peluang musuh-musuh Islam kian besar mencerai-beraikan ummat melalui propaganda-propaganda mereka. Ada beberapa factor yang menjadi unsure pemersatu menuju terwujudnya kesatuan ummat.

Kesatuan aqidah (wihdatul Aqidah)

Kesatuan atas dasar aqidah, inilah factor utama yang tak boleh diabaikan. Hanya atas dasar aqidah Islam yang benar, tanpa kesyirikan, ummat ini terikat atau disatukan dalam buhul tali yang tidak akan putus oleh badai apapun. Allah telah menyuratkan hal ini dalam Al-Quran : “..Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah : 256)

Kesatuan ibadah (Wihdatul Ibadah)

Kesatuan ibadah, yang hanya mengabdi kepada Allah, menjadi sangat penting sebagai cerminan dari kesatuan aqidah islamiyah. Kesatuan ibadah juga sangat mendesak segera terwujud, karena ia hanya mencerminkan seberapa besar penyerahan diri kita pada ketentuan-ketentuan Allah. Factor pengabdian yang benar dan Ikhlas inilah yang akan mengantarkan ummat menuju kejayaan dunia dan keselamatan akhirat. Islam adalah din yang lurus, yang tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus (Al-bayyinah : 5)

Kesatuan perilaku

Banyak disebutkan dalam al-Quran bahwa ummat Islam adalah ummat terbaik (Khairu ummah). Hal ini dikarenakan ketinggian akhlaq ummat Islam, sebagai cerminan kemuliaan aqidah islamiyah. Kualitas keislaman seseorang bias dilihat antara lain dari akhlaq dan kebiasaan sehari-hari. Dalam hal ini, ummat Islam sebagai ummat terbaik telah dituntun oleh Allah supaya berperilaku sebagaimana Rasulullah saw. Beliaulah manusia pilihan Allah sebagai teladan bagi seluruh ummat Islam seluruhnya dalam kerangka semangat beruswah hanya kepada Rasulullah saw (Al-Ahzab : 21)

Kesamaan akhlaq, akan memperkokoh persatuan ummat. Secara fitrah, setiap manusia cenderung menyatu dengan individu lainnya yang memiliki kesamaan perilaku sehari-hari.

Adapun akhir dan puncak hikmah yang dapat di raih oleh orang yang melakukan puasa adalah mencapai derajat dan maqam taqwa di sisi Allah SWT, sebagaimana yang telah difirmankan Allah di penutup perintah-Nya kepada kaum beriman untuk berpuasa, “agar kamu bertaqwa”, karena dengan puasa kesehatan qalb (hati) dan jasad (jasmani) terjaga, sehingga tidak heran kalau syekh Yusuf Al-Qaradhawi menjadikan puasa itu sebagai madrasah mutamayyizah (lembaga pendidikan favorit) yang dibuka oleh Islam untuk menerima pendaftaran baru ; berkadar kurikulum Ilahi. Oleh karena itu, siapa saja yang mendaftarkan dirinya ke madrasah mutamyyizah ini, yaitu berpuasa dengan baik sebagaimana yang telah di gariskan Allah, kemudian mengamalkan sunnah-sunnah sebagaimana yang di syariatkan oleh Rasulullah SAW, maka dia telah sukses dalam menempuh ujian dan meraih tingkat dan level yang tinggi dan mulia di sisi Allah yaitu Taqwa. Dimana taqwa dalam kehidupan kaum muslimin merupakan benteng utama, bekal yang paling baik yang diperlukan oleh setiap manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat, seperti yang dipesankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 197 : “Dan berbekallah kalian karena sebaik-baik bekal adalah taqwa”. Dan sebagaimana yang dipesankan oleh Rasulullah saw kepada seseorang : “Bertaqwalah kepada Allah di manapun kamu berada”. Dan taqwa dapat mengatasi segala problema dan urusan hidup di dunia (At-Tholak (65) : 2) dan memudahkan rezki (At-Tholak (65) : 2&4) dan amal ibadah kita diterima oleh Allah (Al-Maidah (5) : 27), juga sebagai tameng dan sarana diampuninya dosa-dosa (Al-Anfal (8) : 27) serta Allah akan memasukkan ke surga yang penuh kenikmatan (At-Thur (52) :17)

Semoga Idul Fitri tahun ini benar-benar membawa perubahan pada diri kita, kehidupan rumah tangga kita, masyarakat kita, pemerintahan kita, sehingga benar-benar menjadi bangsa yang “Baldatun Thoyibatun wa Robbun Ghofur”, bangsa yang makmur dan sejahtera pada semua lapisan masyarakatnya -bukan saja para pemimpin dan kaum elitnya saja- dan bangsa yang selalu mendapatkan lindungan, naungan, bimbingan dan ampunan Allah SWT. []

Melestarikan Nilai-Nilai Ramadhan

Sumber: Dakwatuna

الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر

اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.

Jamaah Kaum Muslimin Rahimakumullah.

Setelah Ramadhan kita akhiri, bukan berarti berakhir sudah suasana ketaqwaan kepada Allah swt, tapi justeru tugas berat kita untuk membuktikan keberhasilan ibadah Ramadhan itu dengan peningkatan ketaqwaan kepada Allah swt, karenanya bulan sesudah Ramadhan adalah Syawwal yang artinya peningkatan. Disinilah letak pentingnya melestarikan nilai-nilai Ibadah Ramadhan.

Sekurang-kurangnya, ada lima nilai ibadah Ramadhan yang harus kita lestarikan, paling tidak hingga Ramadhan tahun yang akan datang. Pertama, tidak gampang berbuat dosa. Ibadah Ramadhan yang kita kerjakan dengan sebaik-baiknya membuat kita mendapatkan jaminan ampunan dari dosa-dosa yang kita lakukan selama ini, karena itu semestinya setelah melewati ibadah Ramadhan kita tidak gampang lagi melakukan perbuatan yang bisa bernilai dosa, apalagi secara harfiyah Ramadhan artinya membakar, yakni membakar dosa. Kalau dosa itu kita ibaratkan seperti pohon, maka bila sudah dibakar, pohon itu tidak mudah tumbuh lagi, bahkan bisa jadi mati, sehingga dosa-dosa itu tidak mau kita lakukan lagi.

Dengan demikian, jangan sampai dosa yang kita tinggalkan pada bulan Ramadhan hanya sekadar ditahan-tahan untuk selanjutnya dilakukan lagi sesudah Ramadhan berakhir dengan kualitas dan kuantitas yang lebih besar. Kalau demikian jadinya, ibarat pohon, hal itu bukan dibakar, tapi hanya ditebang cabang-cabangnya sehingga satu cabang ditebang tumbuh lagi tiga, empat bahkan lima cabang dalam beberapa waktu kemudian. Dalam kaitan dosa, sebagai seorang muslim jangan sampai kita termasuk orang yang bangga dengan dosa, apalagi kalau mati dalam keadaan bangga terhadap dosa yang dilakukan, bila ini yang terjadi, maka sangat besar resiko yang akan kita hadapi dihadapan Allah swt, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka bisa masuk ke dalam syurga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan (QS Al A’raf [7]:40).

Kedua nilai ibadah Ramadhan yang harus kita lestarikan adalah hati-hati dalam bersikap dan bertindak. Selama beribadah Ramadhan, kita cenderung berhati-hati dalam melakukan sesuatu, hal itu karena kita tidak ingin ibadah Ramadhan kita menjadi sia-sia dengan sebab kekeliruan yang kita lakukan. Secara harfiyah, Ramadhan juga berarti mengasah, yakni mengasah ketajaman hati agar dengan mudah bisa membelah atau membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Ketajaman hati itulah yang akan membuat seseorang menjadi sangat berhati-hati dalam bersikap dan bertingkah laku. Sikap seperti ini merupakan sikap yang sangat penting sehingga dalam hidupnya, seorang muslim tidak asal melakukan sesuatu, apalagi sekadar mendapat nikmat secara duniawi.

Kehati-hatian dalam hidup ini menjadi amat penting mengingat apapun yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah swt, karenanya apa yang hendak kita lakukan harus kita pahami secara baik dan dipertimbangkan secara matang, sehingga tidak sekadar ikut-ikutan dalam melakukannya, Allah swt berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya (QS Al Isra [17]:36).

Nilai ibadah Ramadhan ketiga yang harus kita lestarikan dalam kehidupan sesudah Ramadhan adalah bersikap jujur. Ketika kita berpuasa Ramadhan, kejujuran mewarnai kehidupan kita sehingga kita tidak berani makan dan minum meskipun tidak ada orang yang mengetahuinya. Hal ini karena kita yakin Allah swt yang memerintahkan kita berpuasa selalu mengawasi diri kita dan kita tidak mau membohongi Allah swt dan tidak mau membohongi diri sendiri karena hal itu memang tidak mungkin, inilah kejujuran yang sesungguhnya. Karena itu, setelah berpuasa sebulan Ramadhan semestinya kita mampu menjadi orang-orang yang selalu berlaku jujur, baik jujur dalam perkataan, jujur dalam berinteraksi dengan orang, jujur dalam berjanji dan segala bentuk kejujuran lainnya.

Dalam kehidupan masyarakat dan bangsa kita sekarang ini, kejujuran merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Banyak kasus di negeri kita yang tidak cepat selesai bahkan tidak selesai-selesai karena tidak ada kejujuran, orang yang bersalah sulit untuk dinyatakan bersalah karena belum bisa dibuktikan kesalahannya dan mencari pembuktian memerlukan waktu yang panjang, padahal kalau yang bersalah itu mengaku saja secara jujur bahwa dia bersalah, tentu dengan cepat persoalan bisa selesai. Sementara orang yang secara jujur mengaku tidak bersalah tidak perlu lagi untuk diselidiki apakah dia melakukan kesalahan atau tidak. Tapi karena kejujuran itu tidak ada, yang terjadi kemudian adalah saling curiga mencurigai bahkan tuduh menuduh yang membuat persoalan semakin rumit. Ibadah puasa telah mendidik kita untuk berlaku jujur kepada hati nurani kita yang sehat dan tajam, bila kejujuran ini tidak mewarnai kehidupan kita sebelas bulan mendatang, maka tarbiyyah (pendidikan) dari ibadah Ramadhan kita menemukan kegagalan, meskipun secara hukum ibadah puasanya tetap sah.

Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.

Kaum Muslimin Yang Berbahagia.

Keempat yang merupakan nilai ibadah Ramadhan yang harus kita lestarikan adalah memiliki semangat berjamaah. Kebersamaan kita dalam proses pengendalian diri membuat syaitan merasa kesulitan dalam menggoda manusia sehingga syaitan menjadi terbelenggu pada bulan Ramadhan. Hal ini diperkuat lagi dengan semangat yang tinggi bagi kita dalam menunaikan shalat yang lima waktu secara berjamaah sehingga di bulan Ramadhan inilah mungkin shalat berjamaah yang paling banyak kita laksanakan, bahkan melaksanakannya juga di masjid atau mushalla.

Disamping itu, ibadah Ramadhan yang membuat kita dapat merasakan lapar dan haus, telah memberikan pelajaran kepada kita untuk memiliki solidaritas sosial kepada mereka yang menderita dan mengalami berbagai macam kesulitan, itupun sudah kita tunjukkan dengan zakat yang kita tunaikan. Karena itu, semangat berjamaah kita sesudah Ramadhan ini semestinya menjadi sangat baik, apalagi kita menyadari bahwa kita tidak mungkin bisa hidup sendirian, sehebat apapun kekuatan dan potensi diri yang kita miliki, kita tetap sangat memerlukan pihak lain. Itu pula sebabnya, dalam konteks perjuangan Allah swt mencintai hamba-hamba-Nya yang berjuang secara berjamaah, yang saling kuat menguatkan sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh (QS Ash Shaf [61]:4)

Nilai ibadah Ramadhan kelima yang harus kita lakukan sesudah Ramadhan berakhir adalah melakukan pengendalian diri. Puasa Ramadhan adalah pengendalian diri dari hal-hal yang pokok seperti makan dan minum. Kemampuan kita dalam mengendalikan diri dari hal-hal yang pokok semestinya membuat kita mampu mengendalikan diri dari kebutuhan kedua dan ketiga, bahkan dari hal-hal yang kurang pokok dan tidak perlu sama sekali. Namun sayangnya, banyak orang telah dilatih untuk menahan makan dan minum yang sebenarnya pokok, tapi tidak dapat menahan diri dari hal-hal yang tidak perlu, misalnya ada orang yang mengatakan: “saya lebih baik tidak makan daripada tidak merokok”, padahal makan itu pokok dan merokok itu tidak perlu. “

Kemampuan kita mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak benar menurut Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang amat mendesak, bila tidak, kehidupan ini akan berlangsung seperti tanpa aturan, tak ada lagi halal dan haram, tak ada lagi haq dan bathil, bahkan tak ada lagi pantas dan tidak pantas atau sopan dan tidak. Yang jelas, selama manusia menginginkan sesuatu, hal itu akan dilakukannya meskipun tidak benar, tidak sepantasnya dan sebagainya. Bila ini yang terjadi, apa bedanya kehidupan manusia dengan kehidupan binatang, bahkan masih lebih baik kehidupan binatang, karena mereka tidak diberi potensi akal, Allah swt berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al A’raf [7]:179).

Dengan demikian, harus kita sadari bahwa Ramadhan adalah bulan pendidikan dan latihan, keberhasilan ibadah Ramadhan justeru tidak hanya terletak pada amaliyah Ramadhan yang kita kerjakan dengan baik, tapi yang juga sangat penting adalah bagaimana menunjukkan adanya peningkatan taqwa yang dimulai dari bulan Syawal hingga Ramadhan tahun yang akan datang.

Demikian khutbah ied kita pada hari ini, semoga bermanfaat bagi kita bersama dan memacu kita untuk membuktikan keberhasilan ibadah Ramadhan dengan sikap dan prilaku yang Islami. amien. Akhirnya, marilah kita akhiri khutbah ied kita dengan berdo’a:

اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ.

Ya Allah, tolonglah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Menangkanlah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi kemenangan. Ampunilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pemberi ampun. Rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rizki sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rizki. Tunjukilah kami dan lindungilah kami dari kaum yang dzalim dan kafir.

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ

Ya Allah, perbaikilah agama kami untuk kami, karena ia merupakan benteng bagi urusan kami. Perbaiki dunia kami untuk kami yang ia menjadi tempat hidup kami. Perbikilah akhirat kami yang menjadi tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan bagi kami dalam setiap kebaikan dan jadikan kematian kami sebagai kebebasan bagi kami dari segala kejahatan.

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا.

Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.

اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

Ya Allah, anugerahkan kepada kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan dan kekuatan selama kami masih hidup dan jadikanlah ia warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan musibah atas kami dalam urusan agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia ini cita-cita kami terbesar dan puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ.

Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a.

رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka.

Mewujudkan Hakikat Taqwa

Sumber: Dakwatuna.com

الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر

اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu.
Kaum Muslimin Rahimakumullah.

Ramadhan yang telah kita akhiri memberikan kebahagiaan tersendiri bagi kita, hal ini karena ibadah Ramadhan yang salah satunya adalah berpuasa memberikan nilai pembinaan yang sangat dalam, yakni mengokohkan dan memantapkan ketaqwaan kita kepada Allah swt, sesuatu yang amat kita butuhkan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Agar pencapaian peningkatan taqwa bisa kita raih dan dapat kita buktikan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi penting bagi kita memahami hakikat taqwa yang sesungguhnya. Dalam bukunya Ahlur Rahmah, Syekh Thaha Abdullah al Afifi mengutip ungkapan sahabat Nabi Muhammad saw yakni Ali bin Abi Thalib ra tentang taqwa, yaitu:

الْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَاْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ وَالرِّضَا بِالْقَلِيْلِ

Takut kepada Allah yang Maha Mulia, mengamalkan apa yang termuat dalam at tanzil (Al-Qur’an), mempersiapkan diri untuk hari meninggalkan dunia dan ridha (puas) dengan hidup seadanya (sedikit)

Dari ungkapan di atas, ada empat hakikat taqwa yang harus ada pada diri kita masing-masing dan ini bisa menjadi tolok ukur keberhasilan ibadah Ramadhan kita.

Pertama, Takut Kepada Allah. Salah satu sikap yang harus kita miliki adalah rasa takut kepada Allah swt. Takut kepada Allah bukanlah seperti kita takut kepada binatang buas yang menyebabkan kita harus menjauhinya, tapi takut kepada Allah swt adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya sehingga hal-hal yang bisa mendatangkan murka, siksa dan azab Allah swt harus kita jauhi. Sedangkan Allah swt sendiri harus kita dekati, inilah yang disebut dengan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).

Karena itu, orang yang takut kepada Allah swt tidak akan melakukan penyimpangan dari segala ketentuan-Nya. Namun sebagai manusia biasa mungkin saja seseorang melakukan kesalahan, karenanya bila kesalahan dilakukan, dia segera bertaubat kepada Allah swt dan meminta maaf kepada orang yang dia bersalah kepadanya, bahkan bila ada hak orang lain yang diambilnya, maka dia mau mengembalikannya. Yang lebih hebat lagi, bila kesalahan yang dilakukan ada jenis hukumannya, maka iapun bersedia dihukum bahkan meminta dihukum sehingga ia tidak menghindar dari hukuman. Allah swt berfirman:

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS Ali Imran [3]:133).

Sebagai contoh, pada masa Rasul ada seorang wanita yang berzina dan ia amat menyesalinya, dari perzinahan itu ia hamil dan sesudah taubat iapun datang kepada Rasul untuk minta dihukum, namun Rasul tidak menghukumnya saat itu karena kehamilan yang harus dipelihara. Sesudah melahirkan dan menyusui anaknya, maka wanita itu dihukum sebagaimana hukuman untuk pezina yang menyebabkan kematiannya, saat Rasul menshalatkan jenazahnya, Umar bin Khattab mempersoalkannya karena ia wanita pezina, Rasulullah kemudian menyatakan:

لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا ِللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Ia telah bertaubat, suatu taubat yang seandainya dibagi pada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya masih cukup. Apakah ada orang yang lebih utama dari seorang yang telah menyerahkan dirinya kepada hukum Allah? (HR. Muslim).

Ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya mendidik kita untuk menjadi orang yang takut kepada Allah swt yang membuat kita akan selalu menyesuaikan diri dengan segala ketentuan-ketentuan-Nya. Kalau kita ukur dari sisi ini, kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang belum bertaqwa karena tidak ada rasa takutnya kepada Allah swt.

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu.

Kaum Muslimin Rahimakumullah.

Hakikat taqwa yang Kedua kata Ali bin Abi Thalib adalah Beramal Berdasarkan Wahyu. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt untuk menjadi petunjuk bagi manusia agar bisa bertaqwa kepada-Nya. Karena itu, orang yang bertaqwa akan selalu beramal atau melakukan sesuatu berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh Allah swt, termasuk wahyu adalah hadits atau sunnah Rasulullah saw karena ucapan dan prilaku Nabi memang didasari oleh wahyu. Dengan kata lain, seseorang disebut bertaqwa bila melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam konteks inilah, menjadi amat penting bagi kita untuk selalu mengkaji al-Quran dan al Hadits, sebab bagaimana mungkin kita akan beramal sesuai dengannya, bila memahaminya saja tidak dan bagaimana pula kita bisa memahami bila membaca dan mengkajinya tidak.

Dalam kehidupan para sahabat, mereka selalu berusaha untuk beramal berdasarkan wahyu, karenanya mereka berusaha mengkajinya kepada Nabi dan para sahabat, bahkan tidak sedikit dari mereka yang suka bertanya. Meskipun mereka suka melakukan sesuatu, tapi bila ternyata wahyu tidak membenarkan mereka melakukannya, maka merekapun berusaha untuk meninggalkannya.

Suatu ketika ada beberapa orang sahabat yang dahulunya beragama Yahudi, mereka ingin sekali bisa melaksanakan lagi ibadah pada hari Sabtu dan menjalankan kitab taurat, tapi turun firman Allah swt yang membuat mereka tidak jadi melakukannya, ayat itu adalah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah [2]:208).

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu.

Kaum Muslimin Yang Berbahagia.

Ketiga yang merupakan hakikat taqwa menurut Ali bin Abi Thalib ra yang harus kita hasilkan dari ibadah Ramadhan kita adalah Mempersiapkan Diri Untuk Akhirat. Mati merupakan sesuatu yang pasti terjadi pada setiap orang. Keyakinan kita menunjukkan bahwa mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi mati justeru awal dari kehidupan baru, yakni kehidupan akhirat yang enak dan tidaknya sangat tergantung pada keimanan dan amal shaleh seseorang dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu, orang yang bertaqwa akan selalu mempersiapkan dirinya dalam kehidupan di dunia ini untuk kebahagiaan kehidupan di akhirat.

Bila kita sudah menyadari kepastian adanya kematian, maka kita tidak akan mensia-siakan kehidupan di dunia yang tidak lama. Kita akan berusaha mengefektifkan perjalanan hidup di dunia ini untuk melakukan sesuatu yang bisa memberikan nilai positif, sebagai apapun kita. Karena itu bila kita tidak efektif dan orang mengkritik kita, harus kita terima kritik itu denga senang hati. Khalifah Umar bin Abdul Aziz salah satu contohnya.

Ketika Umar bin Abdul Aziz telah menerima jabatan sebagai khalifah, dia merasa perlu beristirahat karena kondisi badannya yang sudah amat lelah dan mata yang sudah amat ngantuk, apalagi ia baru saja mengurus keluarganya yang meninggal yakni Khalifah Sulaiman. Baru saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan meletakkan kepalanya di atas bantal, tiba-tiba datang Abdul Malik lalu berkata: “Ayah, apa yang akan ayah lakukan sekarang?”.

“Aku ingin istirahat sejenak anakku”, jawab Umar.

“Apakah ayah akan beristirahat, padahal ayah belum mengembalikan harta rakyat yang dirampas secara zalim kepada yang berhak?”.

“Aku akan lakukan semua itu nanti setelah zuhur, semalam aku tidak bisa tidur karena mengurus pamanmu”, jawab Umar.

“Ayah, siapa yang bisa memberi jaminan bahwa ayah akan tetap hidup sampai zuhur nanti?”. Tanya Abdul Malik lagi menghentak.

Mendengar pertanyaan anaknya itu, terbakar rasanya semangat Umar sehingga seperti hilang rasa ngantuk dan lelah yang dialaminya, lalu Umar berkata: “Nak…mendekatlah kepadaku”.

Setelah Abdul Malik mendekat, Umar mencium keningnya lalu berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku anak keturunan yang membantuku dalam agamaku”.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz segera bangkit dari tempat tidurnya dan iapun mengumumkan: “Barangsiapa yang hartanya telah diambil secara zalim, maka hendaklah ia mengangkat permasalahannya”.

Efektifitas waktu hidup yang digunakan membuat Khalifah Umar bin Abdul Aziz sampai kesulitan mencari mustahik karena tingkat kesejahteraan yang tingggi. Harus kita akui banyak diantara kita yang merasa mati masih lama sehingga tidak muncul amal shaleh, baik sebagai pribadi, keluarga, masyarakat maupun organisasi sosial dan politik, keluhan kita adalah tidak punya waktu, kekurangan waktu, karena itu Allah swt mengingatrkan kita semua:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ﴿١١٠﴾

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (QS Al Kahfi [18]:110).

Manakala seseorang sudah melakukan segala sesuatu sebagai bentuk persiapan untuk kehidupan sesudah kematian, maka orang seperti inilah yang disebut dengan orang yang cerdas, meskipun ia bukan sarjana. Karena itu, Rasulullah saw bersabda:

اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal bagi kehidupan sesudah mati (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim).

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu.

Kaum Muslimin Yang Dimuliakan Allah swt.

Hakikat taqwa yang Keempat menurut Ali bin Abi Thalib adalah Ridha Meskipun Sedikit. Setiap kita pasti ingin mendapat sesuatu khususnya harta dalam jumlah yang banyak sehingga bisa mencukupi diri dan keluarga serta bisa berbagi kepada orang lain. Namun keinginan tidak selalu sejalan dengan kenyataan, ada saat dimana kita mendapatkan banyak, tapi pada saat lain kita mendapatkan sedikit, bahkan sangat sedikit dan tidak cukup. Orang yang bertaqwa selalu ridha dan menerima apa yang diperolehnya meskipun jumlahnya sedikit, inilah yang disebut dengan qana’ah, sedangkan kekurangan dari apa yang diharapkan bisa dicari lagi dengan penuh kesungguhan dan cara yang halal. Korupsi yang menjadi penyakit bangsa kita hingga sekarang adalah karena tidak ada sikap ridha menerima yang menjadi haknya, akibatnya ia masih saja mengambil hak orang lain dan administrasi serta penguatan hokum atas penyimpangan yang dilakukannya bisa diatur, karenanya Allah swt mengingatkan kita semua dalam firman-Nya:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٨﴾

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.(QS Al Baqarah [2]:188).

Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib baru pulang lebih sore dari biasanya. Isterinya, Fatimah putri Rasulullah menyambut kedatangan suaminya dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.

Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah, “Aku mohon maaf karena tidak membawa uang sepeserpun.”

Tidak nampak sedikitpun kekecewaan pada wajah Fatimah, bahkan ia tetap tersenyum dan bisa memaklumi keadaan suami yang dicintainya.

Ali amat terharu terhadap isterinya yang begitu tawakkal meskipun ia tidak bisa memasak malam itu karena memang tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak.

Ketika waktu shalat tiba, seperti biasa Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan salat berjama’ah. Sepulang dari shalat, seorang yang sudah tua menghentikan langkahnya menuju rumah. “Maaf anak muda, betulkah engkau Ali, anaknya Abu Thalib?”, tanya orang itu.

“Betul”, jawab Ali heran.

Orang tua itu merogoh kantungnya seraya berkata, “Dulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.”

Dengan amat gembira Ali mengambil uang itu yang berjumlah 30 dinar. Sesampai di rumah, Ali kemukakan kepada isterinya rizki yang tidak terduga itu. Tentu saja Fatimah sangat gembira ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari. Tanpa berpikir panjang, Ali langsung berangkat menuju pasar.

Ketika hampir tiba ke pasar, Ali melihat seorang fakir menadahkan tangan, “Siapakah yang mau menghutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepadaku, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan.”

Tanpa berpikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu dan Ali pulang dengan tangan kosong. Tentu saja melihat sang suami pulang tidak bawa apa-apa, Fatimah terheran-heran. Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya dan ini justeru membuat Fatimah begitu terharu terhadap sang suami. Dengan diiringi senyum yang manis, Fatimah berkata: “Apa yang engkau lakukan juga akan aku lakukan seandainya aku yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang dimurkai-Nya.”

Sikap menerima membuat kita bisa bersyukur dan bersyukur membuat kita akan memperoleh rizki dalam jumlah yang lebih banyak, bahkan bila jumlahnya belum juga lebih banyak, rasa syukur membuat kita bisa merasakan sesuatu yang sedikit terasa seperti banyak sehingga yang merasakan manfaatnya tidak hanya kita dan keluarga tapi juga orang lain. Inilah diantara makna yang harus kita tangkap dari firman Allah swt:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ ﴿٧﴾

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim [14]:7).

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa bertaqwa kepada Allah swt memerlukan kesungguhan sehingga kita dituntut untuk bertaqwa dengan sebenar-benarnya. Akhirnya marilah kita sudahi ibadah shalat Id kita dengan berdoa:

اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ.

Ya Allah, tolonglah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Menangkanlah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi kemenangan. Ampunilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pemberi ampun. Rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rizki sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rizki. Tunjukilah kami dan lindungilah kami dari kaum yang dzalim dan kafir.

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ

Ya Allah, perbaikilah agama kami untuk kami, karena ia merupakan benteng bagi urusan kami. Perbaiki dunia kami untuk kami yang ia menjadi tempat hidup kami. Perbikilah akhirat kami yang menjadi tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan bagi kami dalam setiap kebaikan dan jadikan kematian kami sebagai kebebasan bagi kami dari segala kejahatan.

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini. Ya Allah, anugerahkan kepada kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan dan kekuatan selamakami masih hidup dan jadikanlah ia warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan musibah atas kami dalam urusan agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia ini cita-cita kami terbesar dan puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ.

Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a.

رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka

Mewujudkan Hakikat Taqwa

Sumber: Dakwatuna.com

الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر

اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu.
Kaum Muslimin Rahimakumullah.

Ramadhan yang telah kita akhiri memberikan kebahagiaan tersendiri bagi kita, hal ini karena ibadah Ramadhan yang salah satunya adalah berpuasa memberikan nilai pembinaan yang sangat dalam, yakni mengokohkan dan memantapkan ketaqwaan kita kepada Allah swt, sesuatu yang amat kita butuhkan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.

Agar pencapaian peningkatan taqwa bisa kita raih dan dapat kita buktikan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi penting bagi kita memahami hakikat taqwa yang sesungguhnya. Dalam bukunya Ahlur Rahmah, Syekh Thaha Abdullah al Afifi mengutip ungkapan sahabat Nabi Muhammad saw yakni Ali bin Abi Thalib ra tentang taqwa, yaitu:

الْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَاْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ وَالرِّضَا بِالْقَلِيْلِ

Takut kepada Allah yang Maha Mulia, mengamalkan apa yang termuat dalam at tanzil (Al-Qur’an), mempersiapkan diri untuk hari meninggalkan dunia dan ridha (puas) dengan hidup seadanya (sedikit)

Dari ungkapan di atas, ada empat hakikat taqwa yang harus ada pada diri kita masing-masing dan ini bisa menjadi tolok ukur keberhasilan ibadah Ramadhan kita.

Pertama, Takut Kepada Allah. Salah satu sikap yang harus kita miliki adalah rasa takut kepada Allah swt. Takut kepada Allah bukanlah seperti kita takut kepada binatang buas yang menyebabkan kita harus menjauhinya, tapi takut kepada Allah swt adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya sehingga hal-hal yang bisa mendatangkan murka, siksa dan azab Allah swt harus kita jauhi. Sedangkan Allah swt sendiri harus kita dekati, inilah yang disebut dengan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).

Karena itu, orang yang takut kepada Allah swt tidak akan melakukan penyimpangan dari segala ketentuan-Nya. Namun sebagai manusia biasa mungkin saja seseorang melakukan kesalahan, karenanya bila kesalahan dilakukan, dia segera bertaubat kepada Allah swt dan meminta maaf kepada orang yang dia bersalah kepadanya, bahkan bila ada hak orang lain yang diambilnya, maka dia mau mengembalikannya. Yang lebih hebat lagi, bila kesalahan yang dilakukan ada jenis hukumannya, maka iapun bersedia dihukum bahkan meminta dihukum sehingga ia tidak menghindar dari hukuman. Allah swt berfirman:

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٣٣﴾

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS Ali Imran [3]:133).

Sebagai contoh, pada masa Rasul ada seorang wanita yang berzina dan ia amat menyesalinya, dari perzinahan itu ia hamil dan sesudah taubat iapun datang kepada Rasul untuk minta dihukum, namun Rasul tidak menghukumnya saat itu karena kehamilan yang harus dipelihara. Sesudah melahirkan dan menyusui anaknya, maka wanita itu dihukum sebagaimana hukuman untuk pezina yang menyebabkan kematiannya, saat Rasul menshalatkan jenazahnya, Umar bin Khattab mempersoalkannya karena ia wanita pezina, Rasulullah kemudian menyatakan:

لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا ِللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Ia telah bertaubat, suatu taubat yang seandainya dibagi pada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya masih cukup. Apakah ada orang yang lebih utama dari seorang yang telah menyerahkan dirinya kepada hukum Allah? (HR. Muslim).

Ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya mendidik kita untuk menjadi orang yang takut kepada Allah swt yang membuat kita akan selalu menyesuaikan diri dengan segala ketentuan-ketentuan-Nya. Kalau kita ukur dari sisi ini, kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang belum bertaqwa karena tidak ada rasa takutnya kepada Allah swt.

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu.

Kaum Muslimin Rahimakumullah.

Hakikat taqwa yang Kedua kata Ali bin Abi Thalib adalah Beramal Berdasarkan Wahyu. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt untuk menjadi petunjuk bagi manusia agar bisa bertaqwa kepada-Nya. Karena itu, orang yang bertaqwa akan selalu beramal atau melakukan sesuatu berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh Allah swt, termasuk wahyu adalah hadits atau sunnah Rasulullah saw karena ucapan dan prilaku Nabi memang didasari oleh wahyu. Dengan kata lain, seseorang disebut bertaqwa bila melaksanakan perintah Allah swt dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam konteks inilah, menjadi amat penting bagi kita untuk selalu mengkaji al-Quran dan al Hadits, sebab bagaimana mungkin kita akan beramal sesuai dengannya, bila memahaminya saja tidak dan bagaimana pula kita bisa memahami bila membaca dan mengkajinya tidak.

Dalam kehidupan para sahabat, mereka selalu berusaha untuk beramal berdasarkan wahyu, karenanya mereka berusaha mengkajinya kepada Nabi dan para sahabat, bahkan tidak sedikit dari mereka yang suka bertanya. Meskipun mereka suka melakukan sesuatu, tapi bila ternyata wahyu tidak membenarkan mereka melakukannya, maka merekapun berusaha untuk meninggalkannya.

Suatu ketika ada beberapa orang sahabat yang dahulunya beragama Yahudi, mereka ingin sekali bisa melaksanakan lagi ibadah pada hari Sabtu dan menjalankan kitab taurat, tapi turun firman Allah swt yang membuat mereka tidak jadi melakukannya, ayat itu adalah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah [2]:208).

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu.

Kaum Muslimin Yang Berbahagia.

Ketiga yang merupakan hakikat taqwa menurut Ali bin Abi Thalib ra yang harus kita hasilkan dari ibadah Ramadhan kita adalah Mempersiapkan Diri Untuk Akhirat. Mati merupakan sesuatu yang pasti terjadi pada setiap orang. Keyakinan kita menunjukkan bahwa mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi mati justeru awal dari kehidupan baru, yakni kehidupan akhirat yang enak dan tidaknya sangat tergantung pada keimanan dan amal shaleh seseorang dalam kehidupan di dunia ini. Karena itu, orang yang bertaqwa akan selalu mempersiapkan dirinya dalam kehidupan di dunia ini untuk kebahagiaan kehidupan di akhirat.

Bila kita sudah menyadari kepastian adanya kematian, maka kita tidak akan mensia-siakan kehidupan di dunia yang tidak lama. Kita akan berusaha mengefektifkan perjalanan hidup di dunia ini untuk melakukan sesuatu yang bisa memberikan nilai positif, sebagai apapun kita. Karena itu bila kita tidak efektif dan orang mengkritik kita, harus kita terima kritik itu denga senang hati. Khalifah Umar bin Abdul Aziz salah satu contohnya.

Ketika Umar bin Abdul Aziz telah menerima jabatan sebagai khalifah, dia merasa perlu beristirahat karena kondisi badannya yang sudah amat lelah dan mata yang sudah amat ngantuk, apalagi ia baru saja mengurus keluarganya yang meninggal yakni Khalifah Sulaiman. Baru saja dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan meletakkan kepalanya di atas bantal, tiba-tiba datang Abdul Malik lalu berkata: “Ayah, apa yang akan ayah lakukan sekarang?”.

“Aku ingin istirahat sejenak anakku”, jawab Umar.

“Apakah ayah akan beristirahat, padahal ayah belum mengembalikan harta rakyat yang dirampas secara zalim kepada yang berhak?”.

“Aku akan lakukan semua itu nanti setelah zuhur, semalam aku tidak bisa tidur karena mengurus pamanmu”, jawab Umar.

“Ayah, siapa yang bisa memberi jaminan bahwa ayah akan tetap hidup sampai zuhur nanti?”. Tanya Abdul Malik lagi menghentak.

Mendengar pertanyaan anaknya itu, terbakar rasanya semangat Umar sehingga seperti hilang rasa ngantuk dan lelah yang dialaminya, lalu Umar berkata: “Nak…mendekatlah kepadaku”.

Setelah Abdul Malik mendekat, Umar mencium keningnya lalu berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku anak keturunan yang membantuku dalam agamaku”.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz segera bangkit dari tempat tidurnya dan iapun mengumumkan: “Barangsiapa yang hartanya telah diambil secara zalim, maka hendaklah ia mengangkat permasalahannya”.

Efektifitas waktu hidup yang digunakan membuat Khalifah Umar bin Abdul Aziz sampai kesulitan mencari mustahik karena tingkat kesejahteraan yang tingggi. Harus kita akui banyak diantara kita yang merasa mati masih lama sehingga tidak muncul amal shaleh, baik sebagai pribadi, keluarga, masyarakat maupun organisasi sosial dan politik, keluhan kita adalah tidak punya waktu, kekurangan waktu, karena itu Allah swt mengingatrkan kita semua:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ﴿١١٠﴾

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (QS Al Kahfi [18]:110).

Manakala seseorang sudah melakukan segala sesuatu sebagai bentuk persiapan untuk kehidupan sesudah kematian, maka orang seperti inilah yang disebut dengan orang yang cerdas, meskipun ia bukan sarjana. Karena itu, Rasulullah saw bersabda:

اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ

Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan nafsunya dan beramal bagi kehidupan sesudah mati (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim).

Allahu Akbar 3x Walillahilhamdu.

Kaum Muslimin Yang Dimuliakan Allah swt.

Hakikat taqwa yang Keempat menurut Ali bin Abi Thalib adalah Ridha Meskipun Sedikit. Setiap kita pasti ingin mendapat sesuatu khususnya harta dalam jumlah yang banyak sehingga bisa mencukupi diri dan keluarga serta bisa berbagi kepada orang lain. Namun keinginan tidak selalu sejalan dengan kenyataan, ada saat dimana kita mendapatkan banyak, tapi pada saat lain kita mendapatkan sedikit, bahkan sangat sedikit dan tidak cukup. Orang yang bertaqwa selalu ridha dan menerima apa yang diperolehnya meskipun jumlahnya sedikit, inilah yang disebut dengan qana’ah, sedangkan kekurangan dari apa yang diharapkan bisa dicari lagi dengan penuh kesungguhan dan cara yang halal. Korupsi yang menjadi penyakit bangsa kita hingga sekarang adalah karena tidak ada sikap ridha menerima yang menjadi haknya, akibatnya ia masih saja mengambil hak orang lain dan administrasi serta penguatan hokum atas penyimpangan yang dilakukannya bisa diatur, karenanya Allah swt mengingatkan kita semua dalam firman-Nya:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٨﴾

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.(QS Al Baqarah [2]:188).

Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib baru pulang lebih sore dari biasanya. Isterinya, Fatimah putri Rasulullah menyambut kedatangan suaminya dengan sukacita. Siapa tahu Ali membawa uang lebih banyak karena kebutuhan di rumah makin besar.

Sesudah melepas lelah, Ali berkata kepada Fatimah, “Aku mohon maaf karena tidak membawa uang sepeserpun.”

Tidak nampak sedikitpun kekecewaan pada wajah Fatimah, bahkan ia tetap tersenyum dan bisa memaklumi keadaan suami yang dicintainya.

Ali amat terharu terhadap isterinya yang begitu tawakkal meskipun ia tidak bisa memasak malam itu karena memang tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak.

Ketika waktu shalat tiba, seperti biasa Ali lalu berangkat ke masjid untuk menjalankan salat berjama’ah. Sepulang dari shalat, seorang yang sudah tua menghentikan langkahnya menuju rumah. “Maaf anak muda, betulkah engkau Ali, anaknya Abu Thalib?”, tanya orang itu.

“Betul”, jawab Ali heran.

Orang tua itu merogoh kantungnya seraya berkata, “Dulu ayahmu pernah kusuruh menyamak kulit. Aku belum sempat membayar ongkosnya, ayahmu sudah meninggal. Jadi, terimalah uang ini, sebab engkaulah ahli warisnya.”

Dengan amat gembira Ali mengambil uang itu yang berjumlah 30 dinar. Sesampai di rumah, Ali kemukakan kepada isterinya rizki yang tidak terduga itu. Tentu saja Fatimah sangat gembira ketika Ali menceritakan kejadian itu. Dan ia menyuruh membelanjakannya semua agar tidak pusing-pusing lagi merisaukan keperluan sehari-hari. Tanpa berpikir panjang, Ali langsung berangkat menuju pasar.

Ketika hampir tiba ke pasar, Ali melihat seorang fakir menadahkan tangan, “Siapakah yang mau menghutangkan hartanya untuk Allah, bersedekahlah kepadaku, seorang musafir yang kehabisan bekal di perjalanan.”

Tanpa berpikir panjang lebar, Ali memberikan seluruh uangnya kepada orang itu dan Ali pulang dengan tangan kosong. Tentu saja melihat sang suami pulang tidak bawa apa-apa, Fatimah terheran-heran. Ali menerangkan peristiwa yang baru saja dialaminya dan ini justeru membuat Fatimah begitu terharu terhadap sang suami. Dengan diiringi senyum yang manis, Fatimah berkata: “Apa yang engkau lakukan juga akan aku lakukan seandainya aku yang mengalaminya. Lebih baik kita menghutangkan harta kepada Allah daripada bersifat bakhil yang dimurkai-Nya.”

Sikap menerima membuat kita bisa bersyukur dan bersyukur membuat kita akan memperoleh rizki dalam jumlah yang lebih banyak, bahkan bila jumlahnya belum juga lebih banyak, rasa syukur membuat kita bisa merasakan sesuatu yang sedikit terasa seperti banyak sehingga yang merasakan manfaatnya tidak hanya kita dan keluarga tapi juga orang lain. Inilah diantara makna yang harus kita tangkap dari firman Allah swt:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ ﴿٧﴾

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim [14]:7).

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa bertaqwa kepada Allah swt memerlukan kesungguhan sehingga kita dituntut untuk bertaqwa dengan sebenar-benarnya. Akhirnya marilah kita sudahi ibadah shalat Id kita dengan berdoa:

اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ.

Ya Allah, tolonglah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Menangkanlah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi kemenangan. Ampunilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pemberi ampun. Rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rizki sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rizki. Tunjukilah kami dan lindungilah kami dari kaum yang dzalim dan kafir.

اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ

Ya Allah, perbaikilah agama kami untuk kami, karena ia merupakan benteng bagi urusan kami. Perbaiki dunia kami untuk kami yang ia menjadi tempat hidup kami. Perbikilah akhirat kami yang menjadi tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan bagi kami dalam setiap kebaikan dan jadikan kematian kami sebagai kebebasan bagi kami dari segala kejahatan.

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini. Ya Allah, anugerahkan kepada kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan dan kekuatan selamakami masih hidup dan jadikanlah ia warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan musibah atas kami dalam urusan agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia ini cita-cita kami terbesar dan puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ.

Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a.

رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka

Taqwa dan Masyarakat Madani

Sumber: Dakwatuna.com

الله أكبر × 9. لا إله إلا الله ألله أكبر الله أكبر ولله الحمد

الحمد لله الذي منّ على عباده بأعياد تعود عليهم بالبركات، ووفاهم أجورهم على ما قدموا من سائر الطاعات، نحمده سبحانه على فضله وإحسانه، ونرجوه الزيادة من الخيرات. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له في الربوبية والألوهية والأسماء والصفات، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله أفضل من قدّم لربه أنواع القربات.

اللهم صل على هذا النبي الكريم الذي ربّى أمته على الجهاد والتضحية بالنفائس الغاليات، وعلى آله وصحبه والتابعين لهم بإحسان ما دامت الأرض والسموات. أما بعد: فيا أيها المسلمون، أوصيكم وإياي بتقوى الله فقد فاز المتقون.

الله أكبر×3 ولله الحمد. معاشر المسلمين رحمكم الله.

Berbahagialah dan bergembiralah kita, para hamba Allah yang beriman, di hari Idul Fitri yang mulia ini, sebagai ungkapan syukur kepada-Nya, atas keberhasilan dan kemenangan kita—insya Allah—dalam memperoleh anugerah besar berupa bulan Ramadhan yang baru saja meninggalkan kita. Ramadhan yang penuh dengan rahmat dan maghfirah Ilahi Yang Maha Rahman. Ramadhan yang bersenandung dengan keindahan tadarus dan tilawatil Qur’an. Ramadhan yang bernuansa kasih sayang dan kepedulian kepada sesama yang membutuhkan, Ramadhan yang berpesan kepada setiap insan agar senantiasa dekat dengan Sang Pencipta semesta alam dan Ramadhan yang diistimewakan dengan malam Qadar yang diagungkan melebihi seribu bulan. Semoga semangat dan nuansa Ramadhan yang penuh dengan aktivitas ibadah dan pengabdian kepada Allah tersebut akan senantiasa hadir dan mewarnai hari-hari kita di bulan-bulan yang lain, dan semoga pada hari yang agung ini kita benar-benar kembali kepada fitrah (kesucian) kita, dan kita selaku individu maupun ummat mencapai derajat taqwa yang menjadi target utama disyariatkannya puasa di bulan Ramadhan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة:183)

“Wahai orang-orang yang beiman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi bertaqwa”

Derajat taqwa merupakan capaian tertinggi dalam tangga pengabdian seorang hamba kepada Sang Khaliq, karena taqwa merupakan sifat ubudiyah yang hakiki, di dalamnya tercakup semua aspek kehidupan beragama. Manusia bertaqwa adalah yang salalu menghadirkan Allah dalam dirinya (Dzikrullah), ia merasa bahwa pengawasan Allah selalu melekat pada setiap aktivitas hidupnya (Muraqabatullah) sehingga ia senantiasa berada di atas jalan ketaatan kepada-Nya dan tidak melanggar aturan-aturan-Nya (Imtitsalul-Awamir wa ijtinabun-Nawahi). Taqwa mencakup aspek keimanan, aspek ibadah, aspek akhlak, baik yang terkait dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum; pidana dan perdata. Sifat Taqwa tetap harus menjadi landasan dalam kehidupan setiap individu, keluarga maupun masyarakat; berbangsa dan bernegara.

الله أكبر×3 ولله الحمد. معاشر المسلمين رحمكم الله

Apabila kita mencermati kembali ayat-ayat Allah dalam perintah berpuasa, yaitu surat Al-Baqarah ayat 183 dan ayat-ayat yang mengiringinya, mulai ayat 177 hingga ayat 180, maka kita menangkap pelajaran yang amat jelas tentang karakteristik manusia bertaqwa, dan bahwa segala sistem dalam Islam, mulai dari sistem aqidah dan keimanan; sistem ritual peribadatan; sistem hubungan sosial kemasyarakatan; serta sistem penegakan hukum dan undang-undang, semuanya disyariatkan oleh Allah dalam rangka membentuk jiwa pengabdian manusia agar mereka senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam Al-Baqarah ayat 21:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون (البقرة:21)

“Wahai manusia, mengabdilah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu senantiasa bertaqwa”

Dalam aspek keimanan, manusia bertaqwa adalah orang yang yakin akan kebenaran Islam, bahwa Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu menjadi solusi bagi segala permasalahan kehidupan, karena ajaran ini berasal dari sang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui akan segala rahasia dan hajat yang dibutuhkan oleh manusia dan Maha Mengatur serta Memelihara segala permasalahan makhluk-Nya. Bangunan keimanan utuh dan tidak parsial; yakni membenarkan sebagian ajaran Islam dan ingkar kepada sebagian ajaran yang lain. Allah berfirman:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ (البقرة:177)

“Bukanlah kebajikan itu kalau kamu memalingkan wajah ke timur dan ke barat (untuk mencari ajaran lain selain Islam), tetapi kebajikan yang sesungguhnya adalah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kita, dan nabi-nabi”

Di bidang sosial, manusia bertaqwa adalah orang yang memiliki kepedulian yang tinggi kepada lingkungannya, baik sosial maupun alam. Sekalipun ia sangat sayang kepada hartanya tetapi ia tetap peduli untuk membantu sesamanya yang membutuhkan

وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ(البقرة:177)

“Dan ia memberikan harta, meskipun ia sangat menyintai hartanya, kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), orang-orang yang meminta-minta dan untuk memerdekakan hamba sahaya”.

Pada aspek ibadah mahdhah, orang yang bertaqwa selalu konsisten dalam mengerjakan shalat dan menunaikan zakat:

وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ

Manusia bertaqwa pun adalah mereka yang memiliki integritas kepribadian yang tinggi, teguh dalam menunaikan amanat dan janjinya, sabar dalam menghadapi berbagai ujian dan rintangan di jalan perjuangan.

وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (البقرة:177)

Pada level kenegaraan, salah satu bukti ketaqwaan haruslah diimplementasikan dalam bentuk penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan Ilahi. Karena hanya dengan ketegasan hukum di semua level masyarakat dan pelaksanaannya yang tanpa pandang bulu, akan terjamin keamanan, ketenangan dan kelangsungan kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara adil, sejahtera dan aman sentausa. Dengan demikian, kehidupan beragama dan ketaqwaan masyarakat menjadi terjamin dan berkembang secara baik Dalam hal ini, Allah memanggil hamba-hamba-Nya yang beriman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ..(البقرة:178) وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة:179)

” Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu menegakkan hokum qishash berkenaan dengan orang-orang yang terbunuh……. Dan ada pada penegakan qishash itu, jaminan hidup (yang aman dan tentram) bagi kamu, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian bertaqwa”.

الله أكبر×3 ولله الحمد. معاشر المسلمين رحمكم الله

Dalam beribadah puasa pun, target untuk menjadi manusia bertaqwa juga dicanangkan oleh Allah SWT. Dan untuk mencapai tujuan jiwa yang taqwa tersebut Rasulullah SAW memberikan arahan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ فإذا كان أحدكم صائما فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْن) متفق عليه.

“Puasa merupakan prisai,karena itu apabila seseorang di antara kamu sedang berpuasa maka janganlah berkata/berbuat rafats (jorok, porno dll) dan berbuat bodoh (jahiliah, fanatisme pribadi/golongan), dan jika ia dimusuhi atau dicaci-maki oleh orang lain, maka hendaklah ia berkata: sesusngguhnya aku sedang berpuasa”.

Inti ajaran dalam berpuasa adalah kemampuan mengendalikan diri dari prilaku-prilaku yang menyimpang, yang disebabkan oleh sifat serakah terhadap harta, ambisi jabatan dan nafsu birahi. Suatu negara yang dipenuhi orang-orang yang serakah dan ambisius serta merajalelanya pornografi dan pornoaksi di mana-mana, maka negara tersebut akan menjadi negara yang terkutuk dan terancam siksaan yang mengerikan dari Allah, Tuhan semesta alam. Rasullah Saw bersabda:

عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلوا بأنفسهم عذاب الله » رواه الطبراني والبيهقي.

“Apabila perzinaan dan ekonomi riba telah menjadi fenomena di tengah penduduk suatu negeri, maka mereka telah menghalalkan azab Allah untuk turun atas mereka”.

Begitu pula apabila negara penuh dengan sikap jahiliyah yang intinya berupa fanatisme kelompok, suku, ras, kampung, geng bahkan nasionalisme sempit yang mengukur kebenaran pada kelompok dan bukan atas dasar rasionalitas dan hati nurani yang bersumber dari ajaran Ilahi, maka negara seperti ini terancam disentigrasi, perpecahan. Karena itulah Rasulullah Saw, menyebut bahwa segala bentuk jargon, simbul-simbul jahiliyah dan fanatisme golongan ini adalah busuk dan menjijikkan. Karena yang hanya bisa menyatukan semua elemen bangsa dan ummat hanyalah agama Tauhid, agama Allah Swt. Pada suatu ketika ada seorang muslim dari kalangan Muhajirin bertengkar dengan saudaranya dari kalangan Anshar, lalu keduanya memanggil kawannya masing-masing, sehingga nyaris terjadi tawuran antar kelompok kaum muslimin. Ketika Rasulullah SAW menerima laporan mengenai kejadian itu, beliau bergegas datang, dan berkata :

(مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَعَ رَجُلٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ. وفي رواية: دعوها فإنها خبيثة). متفق عليه.

“Mengapa masih ada kebiasaan Jahiliyah (ditengah-tengah kalian). Mereka mengatakan: ya Rasulullah, ada orang muhajirin menendang seorang dari Anshar. Maka beliau berkata: Tinggalkanlah kebiasaan jahiliyah, sebab itu sangat busuk dan menjijikkan”.

الله أكبر×3 ولله الحمد. معاشر المسلمين رحمكم الله

Jika nilai-nilai taqwa di atas mampu direfleksikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka akan terwujud sebuah tatanan masyarakat yang kita cita-citakan, yaitu Masyarakat Madani yang merupakan warisan dari Sunnah Nabawiyah, sebuah komunitas yang hadir melalui perjuangan yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw, dengan bingkai Piagam Madinah yang diakui oleh para pakar sebagai konstitusi tertua di dunia yang sangat modern, dan menghadirkan fakta historis tentang pengelolaan negara berbasiskan pada prinsip hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; dan bergotong-royong untuk menjaga kedaulatan negara. Hal ini sejalan dengan konteks masyarakat Indonesia masa kini yang merealisasikan Ukhuwah Islamiyah (Ikatan Keislaman), Ukhuwah Wathaniyah (Ikatan Kebangsaan) dan Ukhuwah Basyariyah (Ikatan Kemanusiaan) dalam bingkai NKRI.

Semoga dengan teraplikasikannya nilai-nilai taqwa dari ibadah Ramadhan dan ibadah yang lain di dalam kehidupan kita, Allah SWT akan merealisasikan janji-Nya buat bangsa dan negara ini, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (الأعراف:96)

“Sungguh sekiranya para penduduk negeri beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan untuk mereka keberkahan-keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetap[I mereka mendustakan (janji ini), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri” Al-A’raf: 96.

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم، ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم. أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم ولسائر المسلمين ، فاستغفروا الله إنه هو الغفور الرحيم.

Saturday, September 4, 2010

KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN


Oleh: Muhammad Bachttiar El-Marzoeq

Terasa begitu cepat waktu berlalu, seakan baru kemaren kita berpuasa ramadhan tahun lalu, bulan suci itu pun kembali menyapa kita, bulan Al-Qur`an itu pun kembali menaburkan rahmatnya, memberikan kesempatan lagi kepada kita untuk bisa memanfaatkan bulan suci ini dan memperbaiki kelalaian ibadah kita pada Ramadan tahun lalu. Kini kita telah berada di penghujung Ramadan. Bersyukur, yah; itulah salah satu pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya denga berbagai nikmat yang telah ia berikan, dan nikmat bisa kembali bertemu dengan Ramadan adalah kenikmatan yang tak terhingga, karena jika kita mengetahui akan keutamaan-keutamaan yang terdapat pada bulan suci ini pastilah kita berharap jika semua bulan pada tiap tahunnya adalah bulan Ramadhan.

Bergembira menyambut ramadhan

Seorang muslim seyogyanya bergembira menyambut kedatangan bulan suci ini, bagaimana tidak, jika di dalamnya terdapat banyak sekali ketamaan-keutamaan yang tidak dimilki oleh bulan-bulan qomariyah lainnya, Rasulullah senantiasa memberikan kabar gembira atas kedatangan bulan suci ini kepada sahabat-sahabatnya, keterangan ini bisa kita dapatkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Nasa`i dan Baihaqi ` Rasulullah Saw bersabda yang artinya” Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan bulan yang penuh berkah, diwajibkan atas kalian berpuasa, Dibuka pintu-pintu Surga dan ditutup pintu-pintu Nerakadan para setan dibelenggu, didalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan barang siapa yang terhalang untuk mendapatkannya maka ia sungguh terhalang dari rahmat-Nya”, Dalam riwayat ini, seperti yang saya nukil dari buku “ Ma`a Ramadhan Ilal Jinan”Imam Rajab berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa dianjurkan bagi sesama muslim untuk memberikan ucapan selamat kepada saudaranya atas kedatangan bulan ramadhan.

Dari keterangan hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa Rasulullah memberikan perlakuan khusus kepada bulan ramadhan ini yaitu dengan menyambutnyadan memberikan kabar gembira kepada para sahabtnya atas kedatangan bulan ini, telah termaklum bahwa jika ada pengkhususan pada sesuatu pastilah adakeistimewaan pada sesuatu itu yang tidak dimili oleh yang lain, dari itu agar kita tidak penasaran dengan keistimewaan apa saja yang dimilki bulan Ramadan ini dan sedikit mengetahui sebab dari pengkhususan Rasulullah terhadap bulan Ramadhan ini, mari kita kaji bersama beberapa keutamaan-keutamaan bulan ramadhan yang saya nukil lansung dari buku “Al-Shahih Min Ahkamissiyam” karya Abu Abdurrahman Al Hilali, dan kitab-kitab pendukung lainnya, tidak lain agar kita mempunyai alasan kenapa kita harus begembira menyambut bulan yang mulia ini.

1.Bulan Al-Qur`an
Keistimewaan yang tentu hanya terdapat pada bulan Ramadhan adalah, diturunkannya kitab suci umat Islam Al-Qur`an Al-Karim tepatnya pada malam Lailatul Qodar, sesuai keterangan yang terdapat pada Al-Qur`an surat Al-Baqarah ayat 185 yang artinya” Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antar yang benar dan yang batil)
2.Bulan diturunkannya kitab-kitab Samawi
Memang tidak heran jika sahabat-sahabat rasul terdahulu selalu berdoa agar bisa kembali merasakan manisnya beribadah di bulan ramadhan dengan keistimewaan yang dimilki bulan ini, tentu mempunyai daya tarik tersendiri bagi mereka, makin lengkap keistimewaan yang ada pada bulan ini, ternyata kitab samawi selain Al-qur`an yaitu Taurat, Injil dan Zabur juga diturunkan pada bulan Ramadhan. Keterangan ini bisa kita dapatkan dari hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad yang artinya” Diturunkan lembaran-lembaran (suhuf) Ibrahim pada permulaan bulan Ramadan, dan diturunkan kita Taurat juga pada bulan Ramadan dan diturunkan kitab Injil pada hari ke 13 Ramadan dan diturunkan kitab Zabur pada hari ke 18 dari bulan Ramadan dan diturunkan Al-Qur`an pada hari ke 14 pada bulan Ramadan” (HR:Imam Ahmad)

3. Dibelenggunya syaithan dan ditutupkan padanya pintu-pintu neraka dan di bukanya pintu-pintu surga.
Keterangan ini bisa kita dapatkan dalam hadits nabi yang artinya: “ Jika telah datang awal malam bulan Ramadhan, diikatlah para syaithan dan jin-jin yang jahat, ditutup pintu-pintu neraka tidak ada satu pintu pun yang dibuka, dan dibukalah pintu-pintu syurga tidak ada satu pun yang tertutup, menyerulah seorang penyeru : "Wahai orang yang ingin kebaikan lakukan- lah, wahai orang yang ingin kejelekan kurangilah, Allah mempunyai orang-orang yang dibebaskan dari neraka, itu terjadi pada setiap malam. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi, dari Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah, dari jalan Abi Bakar bin Ayyash drai Al-A'masy dari Abi Hurairah. Dan sanad hadits ini HASAN).

4. Malam Seribu Bulan
Keutamaan malam ini dengan jelas disebutkan dalam al-Qur`an yaitu pada surat Al-Qadr yang artinya: “ Sesungguhnya kami telah menurunkan (Al-Qur`an) pada malam Qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam itu lebih baik dari pada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar. (QS: Al-Qadr:1-5). Dalam buku Fiqhu Al-Shiyam karya Dr yusuf Qordowi Al-Qadr itu sendiri dalam bahasa arab berarti Al-Makam Wa Al-Syarafyang berarti kemuliaan, bagi hamba yang mendapatkan kemuliaan malam ini berarti dia telah mendapatkan pahala ibadah lebih baik dari pada seribu bulan. Secara matematis seribu bulan itu sendiri sama dengan 83 tahun lebih 4 bulan. Jadi perbandingan 1 malam ini lebih baik dari sepanjang umur hidup manusia yang berumur rata-rata 63 tahun. Adapun dari hadits nabi yang menerangkan tentang kemuliaan malam ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari yang arti haditsnya adalah: “ Telah datang kepada kalian bulan ramadan, bulan yang mana terdapat di dalamnya satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan, barang siapa yang terhalang untuk mendapatkannya berarti ia telah terhalang untuk mendapatkan semua kebaikan, dan tidak akan seseorang terhalang dari kebaikan pada malam itu kecuali orang yang memang terhalang untuk mendapatkannya. (HR: Bukhari)

5. Bulan Ampunan

Walaupun dosa yang berpuasa bagaikan buih di lautan, lalu dia berserah diri di bulan yang penuh dengan ampunan ini memohon ampun kepada Allah Swt agar mengampuni dosa-dosanya niscahya Allah akan mengampuninya. Ini ditegaskan oleh hadits nabi yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim yang artinya“ Barangsiapa yang berpuasa karena keimanan dan semata-mata mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

6. Bulan Pembebasan Dari Api Neraka
Mau kah anda terbebas dari api neraka? Jawannya pasti “iya” siapa yang tidak mau terbebas dari api neraka dan masuk surga, hanya dua pilihan ini lah nasib kita nanti di akhirat. Barang siapa yang dijauhi neraka pastilah ia akan masuk surga, nah tunggu apalagi teman??? Di bulan ini lah kesempatan besar bagi kita untuk meraihnya. Adalah di setiap malam pada bulan Ramadan sesungguhnya Allah Swt membebaskan hamba-hambanya dari api neraka, sesuai dengan keterangan Rasul dari sabdanya yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, artinya" Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka setiap siang dan malam bulan ramadhan, dan semua orang muslim yang berdo'a akan dikabulkan do'anya." Mari kita bermuhasabah teman, apakah kita termasuk hamba-hambanya yang dibebaskan dari api neraka yang jahanam itu di kesempatan malam-malam ramadan kali ini??? Apakah amal ibadah kita pada ramadan yang sebentar lagi meninggalkan kita ini mampu menjadikan kita hamba yang dibebaskan oleh Allah dari api neraka yang panas itu teman??? Bagaimana tilawah kita? Bagaimana Qiyam kita? Ya Allah jadikanlah kami tergolong dari hamba-hamba-Mu yang dibebaskan dari api neraka-Mu.

7.Doa yang mustajab
Sejenak mengajak teman-teman sedikit mentadabburi surat Al-Baqarah ayat 183-187. Pada ayat 183 Allah menegaskan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan bagi orang-orang yang beriman dan bahwasannya kewajiban ini telah berlaku pada umat-umat sebelum kita, pada ayat 184 masih pada masalah puasa bahwa banrang siapa yang sakit atau dalam perjalanan maka baginya boleh untuk menggantinya sebanyak puasa yang ia tinggalkan, lalu pada ayat selanjutnya yaitu 185 Allah mengajak kita mengetahui histori Al-Qur`an bahwasannya ia diturunkan pada bulan yang suci ini dan juga menjelaskan hukum-hukum yang harus dijalani bagi yang berpuasa dengan subtansi hukum yang mirip dengan ayat 184. Akan tetapi alur ayat dalam penjelasan hukum-hukum yang terkait dengan puasa Ramadan ini tiba-tiba terpotong dengan isi ayat yang terdapat dengan ayat setelahnya yaitu ayat 186, berbeda dengan ayat sebelumya yaitu 183,184,185, ayat ini berbicara tentang doa, bahwa Allah senantiasa dekat pada hambanya, dan Allah Swt akan mengabulkan doa hamba yang meminta kepadanya dengan syarat setelah hamba-hama-Nya memenuhi perintah-Nya dan beriman kepada-Nya. Dan setelah ayat ini Allah kembali menjelaskan hukum berpuasa setah sebelumnya menerangkan masalah doa. Pada ayat 187, Allah Swy menjelaskan tentang bagaimana semestinya hubungan suami istri pada bulan Ramadan.

Sepintas kita melihat bahwa penjelasan tentang doa yang terdapat di sela-sela pembahasan hukum-hukum seputar Ramadan menghilangkan keindahan urutan ayat al-Qur`an yang mestinya ayat tentang doa tersebut tidak berada pada tengah-tengah penjelasan Allah tentang hukum-hukum puasa Ramadan, tapi justru disinilah salah satu bentuk I`jaz dalam al-Qur`an.Karena antara surat dengan surat yang lain, dan ayat satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Maka peletakkan ayat doa disela-sela hukum puasa tersebut merupakan sebuah indikasi bahwa doa hamba kepada Allah Swt pada bulan Ramadan berbeda dengan doa pada kesempatan lainnya, karena memang ada waktu-waktu tertentu agar doa kita mustajab. Dan pada bulan puasa ini lah doa seorang muslim tidak akan ditolak, ini ditegaskan oleh hadits yang diriwatkan oleh imam Ahmad dari jalanA'mas yang arti haditsnya: “Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka setiap siang dan malam bulan ramadhan, dan semua orang muslim yang berdo'a akan dikabulkan do'anya."
8. Yang berpuasa pada bulan ini akan ditulis sebagai para Siddiqin dan syuhada pada hari kiamat.
Siddiqin berarti orang-orang yang suka akan kebenaran dan Syuhada adalah orang-orang yang mati karena berjuang di jalan Allah Swt. Dari Amr bin Murrah Al-Juhani -Radhiallahu 'anhu- berkata: Datang seorang pria yang datang kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wasalam kemudian berkata : "Ya Rasul Lullah! Apa pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak untuk diibadahi kecuali Allah, engkau adalah Rasulullah Shalallahualaihi wasalam, aku shalat lima waktu, aku tunaikan zakat, aku lakukan puasa Ramadhan dan shalat tarawih di malam harinya, termasuk orang yang manakah aku ? Beliau menjawab : "Termasuk dari shidiqin dan syuhada".(HR Ibnu Hibban (no. 11-zawaidnya) sanadnya Shahih
Mudahan-mudahan dengan tulisan yang ringan ini kita dapat mereresapinya bersama untuk selanjutnya memaksimalkan usaha ubudiyah kita di penghujung Ramadhan ini. Dengan mengetahui keutamaan-keutamaan bulan Ramadan ini mudah-mudahan kita dapat menyadari bahwa sangat merugi bagi orang yang diberi kesempatan untuk menikmati manisnya beribadah di bulan suci ini tapi ia tak dapat memaksimalkan kesempatan ini dengan sia-sia, masih ada kesempatan teman beberapa hari kedepan untuk kita memperbaiki amalan-amalan kita di bulan suci ini, masih ada kesempatan kita untuk terus bermujahadah demi meraih malam yang lebih baik dari seribu bulan. Wallahu Min Warai` Al-QosdiWa Huwa Yahdissabil.